VOX POPULI VOX DEI
By: Zidna F. Adh. (Bintang Kecil)
Miris rasanya melihat
berita akhir- akhir ini. Kondisi negeriku sangat menyedihkan. Ironis. Ya
ironis. Negeri yang sangat kaya raya, melimpah ruah hasil buminya, ternyata
rakyatnya masih banyak yang hidup melarat. Bagaimana tidak, negeri yang dielu-
elukan mempunyai ‘jalur naga’ tambang bumi ini, ternyata rakyatnya sengsara.
Negeri yang memiliki tambang emas terbesar di dunia, rakyatnya harus ‘melongo’
melihat semuanya telah dirampas oleh penjajah. Negeri yang merupakan lumbung
padi, ternyata banyak rakyatnya yang masih makan nasi aking. Negeri yang
katanya menjungjung tinggi hukum, ternyata hanya pepesan kosong. Hukum di
negeri ini hanya bualan orang- orang ber jas dan ber dasi. Hukum di negeri ini
hanya berpihak pada orang- orang kaya keturunan raja. Dia bermata dua. Ketika
ke atas ia tumpul, ketika ke bawah, ia tajam. Hukum di negeri ini adalah hukum
rimba, siapa kuat ia yang akan menang.
Paradoks, negeri yang
paradoks, mengutip pernyataan penyair besar negeri ini, Ahmad Thohari. Ya
negeri ini memang sebuah negeri yang paradoks. Negeri yang sangat bertolak
belakang dengan yang seharusnya. Kekayaan alam harusnya untuk rakyat, namun,
justru rakyat melarat. Ekonomi, pendidikan, kesehatan harusnya juga untuk
rakyat, untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat. Namun faktanya pada siapa
ekonomi, pendidikan dan kesehatan kita diperuntukkan?
Jargon demokrasi di
negeri ini telah mati kah? Jargon yang dari, oleh, dan untuk rakyat? Ataukah
jargon ini hanya ilusi, ilusi manusia- manusia picik penyembah dunia?
Tidak cukupkah
kemalangan rakyat negeri ini membuat kita sadar bahwa ternyata demokrasi
bukanlah sistem hidup yang memuliakan kita sebagai manusia dan memuliakan
makhluk- makhluk Allah yang lain?
Mari menengok saudara
kita di negeri ini yang hanya demi menuntut ilmu , mereka rela bertaruh nyawa.
Sebuah jembatan gantung di kabupaten Lebak, Banten, yang sudah aus dan mirng
terpaksa harus dilewati adik- adik kita untuk berangkat sekolah. Mereka masih
kecil, masa depan mereka masih panjang. Namun dengan semangat membara, dengan
sangat hati- hati mereka berangkat sekolah, bertaruh dengan maut, dengan arus
sungai yang mengalir deras di bawahnya. Bayangkan jika kita adalah keluarga
atau ibu dari mereka. Pasti tidak akan kita biarkan anak- anak kita seperti
itu. Namun, kondisi yang jauh dari kemapanan membuat rasa ingin merubah nasib
kian menggebu. Ya Allah.
Masalah keamanan di
negeri in rasanya sudah menjadi barang mahal. Rakyat sudah tidak lagi merasa
aman hidup di negerinya sendiri. Kasus- kasus seperti penggusuran, bentrok
antar suku, warga, mahasiswa sudah sering sekali terjadi.
Namun, di atas sana,
pemerintah hanya sibuk mengurusi hal- hal yang tidak penting. Renovasi gedung
DPR yang menelan biaya sekian miliar bahkan triliyun ternyata telah membuat
negeri ini menjadi negeri yang memalukan, sangat memalukan.
Jargon vox populi vox
dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) terus mereka dengungkan dan gemakan ke
seantero negeri ini. Mereka menutup mata, telinga dan hati mereka demi sebuah
kekuasaan. Atas nama jargon tadi mereka mengklaim diri mereka sebagai
perwakilan rakyat, yang ketika mereka bersuara adalah suara Tuhan. Namun, jika
rakyat yang berteriak, mereka tuli, mereka buta akan kondisi kita sebagai
rakyat negeri ini. Rakyat tetap saja melarat, tetap saja hidup ‘mengenaskan’.
Rakyat tetaplah budak- budak penguasa yang mati nuraninya. Vox populi vox dei,
benarkah? Bagiku, adalah suara setan.
- Dalam
sebuah ketertundukan paling dalam yang pernah kulakukan
UziD ^&*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar